Kenaikan harga telur di berbagai negara dipicu oleh beberapa faktor, seperti mahalnya harga pakan, cuaca ekstrem, serta wabah penyakit unggas yang mengurangi produksi. Di Amerika Serikat dan Eropa, harga telur sempat melambung lebih dari dua kali lipat dalam setahun terakhir. Bahkan di beberapa negara Asia, kenaikan harga telur memicu inflasi pangan yang cukup signifikan.

Namun, di Indonesia, produksi telur ayam terus meningkat berkat ketersediaan pakan yang lebih stabil dan strategi peternak dalam menjaga produktivitas. Pemerintah juga berperan aktif dengan memastikan pasokan jagung—bahan utama pakan ayam—tetap terjaga dan harga tidak melonjak drastis. Selain itu, teknologi peternakan yang semakin maju membantu meningkatkan efisiensi produksi.

Permintaan telur di dalam negeri juga tetap tinggi, terutama karena harganya yang terjangkau dibandingkan sumber protein lainnya. Selain itu, program bantuan sosial yang kerap menggunakan telur sebagai bagian dari paket pangan turut menjaga daya serap pasar. Dengan produksi yang melimpah dan konsumsi yang stabil, keseimbangan antara suplai dan permintaan tetap terjaga, sehingga harga tidak mengalami gejolak berarti.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Jika produksi terus meningkat tanpa diimbangi dengan ekspor atau diversifikasi pemanfaatan telur, harga bisa turun terlalu rendah, merugikan peternak. Oleh karena itu, kebijakan yang mendorong ekspor telur ke negara yang mengalami eggflation bisa menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan pasar dan memberi keuntungan bagi peternak dalam negeri.

Situasi ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan Indonesia, khususnya di sektor perunggasan, cukup kuat. Dengan pengelolaan yang tepat, Indonesia tidak hanya bisa menjaga stabilitas harga telur di dalam negeri, tetapi juga berpotensi menjadi pemasok bagi negara-negara yang mengalami krisis telur.