JDNews.co.id – Kolaborasi antara Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam membahas potensi riset ganja untuk keperluan medis menuai perhatian publik. Di tengah sorotan terhadap kebijakan narkotika yang cenderung ketat, langkah ini memunculkan pertanyaan besar: apakah ini sebuah terobosan dalam dunia medis, atau justru membuka ruang kontroversi baru di tengah masyarakat?
Ganja selama ini dikategorikan sebagai narkotika golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang artinya dilarang untuk digunakan baik secara medis maupun rekreasional. Namun, desakan dari komunitas medis dan pasien yang membutuhkan terapi alternatif membuat topik ini kembali mencuat. BNN dan BRIN kini membuka wacana untuk meninjau ulang pendekatan terhadap ganja, setidaknya untuk keperluan penelitian dan pengembangan pengobatan.
Menurut Kepala BRIN, potensi senyawa aktif dalam tanaman ganja seperti cannabidiol (CBD) diyakini memiliki manfaat dalam pengobatan beberapa penyakit, termasuk epilepsi, nyeri kronis, dan gangguan saraf. Riset yang dilakukan secara ilmiah dan terkontrol diharapkan bisa memberi landasan kuat bagi pembentukan regulasi yang lebih proporsional. Ini menjadi langkah awal penting menuju pemanfaatan ganja dalam kerangka medis dan bukan untuk disalahgunakan.
Sementara itu, BNN menegaskan bahwa keterlibatan mereka dalam wacana ini bukan berarti melonggarkan pengawasan terhadap narkotika. Justru, BNN ingin memastikan bahwa jika riset dilakukan, maka harus berada dalam pengawasan ketat dan tidak membuka celah bagi peredaran gelap. Kepala BNN menyatakan bahwa pengawasan dan keamanan menjadi prioritas utama dalam setiap tahapan riset yang mungkin dilakukan.
Masyarakat pun terbelah dalam menyikapi isu ini. Sebagian mendukung karena melihat peluang penyembuhan bagi pasien yang selama ini tidak mendapatkan terapi yang efektif. Di sisi lain, ada yang khawatir langkah ini akan disalahartikan sebagai legalisasi ganja secara umum. Edukasi publik dan transparansi proses riset menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan persepsi.
Langkah BNN dan BRIN ini bisa jadi menjadi titik balik penting dalam pendekatan Indonesia terhadap narkotika. Apakah ini akan menjadi terobosan bagi dunia medis nasional, atau justru memicu polemik berkepanjangan, semua akan bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola regulasi, komunikasi publik, dan integritas dalam pelaksanaan risetnya.