JDNews.co.id – Pemerintah Indonesia saat ini tengah menjalankan uji coba vaksin TBC (tuberkulosis) generasi baru sebagai bagian dari upaya menanggulangi penyakit menular yang masih menjadi ancaman serius di Tanah Air. Vaksin yang sedang diuji, yaitu M72/AS01E, dikembangkan oleh perusahaan farmasi asal luar negeri dan digadang-gadang lebih efektif dibanding vaksin BCG yang sudah digunakan sejak lama. Uji coba ini melibatkan ribuan relawan dan dilakukan di sejumlah wilayah dengan tingkat infeksi TBC tinggi.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menekan angka kasus TBC yang mencapai lebih dari 800 ribu per tahun, menurut data Kementerian Kesehatan. Indonesia tercatat sebagai negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia setelah India. Karena itu, munculnya vaksin baru yang lebih menjanjikan dipandang sebagai harapan baru dalam menekan penyebaran dan angka kematian akibat penyakit ini.
Namun, di balik optimisme tersebut, muncul pula pertanyaan kritis dari berbagai kalangan: apakah Indonesia hanya menjadi “laboratorium” bagi uji coba farmasi asing? Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sejumlah pihak menilai bahwa negara berkembang kerap dijadikan lokasi uji coba karena regulasi yang lebih longgar dan biaya yang lebih murah. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis dan strategis: apakah uji coba ini sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, atau ada kepentingan bisnis global yang bermain?
Pemerintah sendiri menyatakan bahwa uji coba ini sudah memenuhi syarat etik dan ilmiah internasional, serta melibatkan institusi riset lokal sebagai mitra aktif. Kementerian Kesehatan juga menegaskan bahwa hasil uji coba ini akan menguntungkan Indonesia secara langsung jika vaksin terbukti efektif. Artinya, Indonesia tidak sekadar menjadi objek, tetapi juga subjek yang diuntungkan dalam riset global ini.
Meski begitu, transparansi dalam pelaksanaan dan pengawasan uji coba harus dijaga ketat. Masyarakat berhak tahu prosesnya, risikonya, dan potensi manfaatnya. Apalagi jika kelak vaksin ini akan menjadi bagian dari program nasional. Penguatan kapasitas riset dalam negeri dan keterlibatan peneliti lokal juga menjadi kunci agar Indonesia tidak terus-menerus tergantung pada pihak asing dalam menghadapi masalah kesehatan.
Pada akhirnya, uji coba vaksin TBC ini bisa menjadi langkah strategis bila dikelola dengan prinsip kehati-hatian, etika, dan kemandirian. Namun, tanpa pengawasan yang ketat dan partisipasi aktif dari lembaga nasional, upaya ini berpotensi menjebak Indonesia dalam ketergantungan jangka panjang pada industri farmasi global. Pilihannya kini ada di tangan pemerintah dan masyarakat: menjadi tuan rumah di negeri sendiri, atau terus menjadi penonton dalam permainan global.