Oleh:
Dr.(c). Hendri, S.Si., M.E
Dosen Univ. Nagoya Indonesia/Ketua Alumni Univ. Andalas Kepri/Ketua DPW PWMOI Kepri/ Mahasiswa Doktoral UIN STS Jambi Jurusan Ilmu Syariah
JDNews.co.id – Kasus korupsi yang melibatkan tiga hakim Pengadilan Negeri di Surabaya dengan suap sebesar 1 triliun rupiah dan 51 kilogram emas telah memukul telak reputasi kehakiman Indonesia, mencoreng muka keadilan di hadapan masyarakat. Saat hakim yang seharusnya menjadi garda terakhir penegakan hukum justru terlibat dalam kejahatan, hal ini mengirimkan sinyal yang mengkhawatirkan tentang rusaknya moralitas dan integritas di dalam sistem peradilan kita.
Hakim seharusnya menjadi pilar utama dalam menegakkan keadilan, mereka digaji dengan layak dan diberikan hak istimewa demi menjaga independensi dan integritas dalam melaksanakan tugas. Namun, kasus ini menunjukkan betapa mudahnya seorang hakim melupakan sumpah jabatan dan mengkhianati kepercayaan rakyat demi keuntungan pribadi. Apakah ini berarti nilai keadilan sudah diperdagangkan, bahkan oleh mereka yang diamanahkan sebagai penegak hukum?
Publik semakin skeptis terhadap institusi kehakiman, bertanya-tanya apakah ada lagi hakim yang benar-benar bersih dan adil. Praktik suap seperti ini menimbulkan keraguan yang besar, bahkan memunculkan rasa takut bahwa setiap keputusan pengadilan dapat saja dibeli oleh pihak yang memiliki uang atau kekuasaan. Maka, bagaimana masyarakat bisa mengharapkan keadilan dari lembaga yang kotor di dalamnya?
Indonesia perlu segera memperbaiki sistem kehakiman yang nyaris kehilangan legitimasinya ini. Kegagalan untuk mengambil langkah tegas akan terus membuka peluang bagi praktik-praktik kotor di kalangan hakim. Jika terus dibiarkan, bukan hanya kepercayaan masyarakat yang hilang, tetapi juga akan tercipta budaya hukum yang rusak, di mana hukum hanya dijadikan alat manipulasi untuk mencapai kepentingan pribadi.
Masyarakat hari ini berfikir sulitnya mencari keadilan di pengadilan bahkan butuh uang banyak untuk berperkara di Pengadilan sehingga masyarat menyerah biarlah tertindas walaupun benar namun harus mengeluarkan materi yang banyak saat bertarung dipengadilan. Negeri apa yang kita hadapi untuk mencari keadilan saja biaya sangat mahal, momok pencari keadilan adalah Hanya orang yang Beruang yang bisa mencari keadilan.
Sudah jelas dasar Hukum yang Mengatur Integritas Hakim dan Sanksi bagi Hakim Korup, Dasar hukum bagi integritas dan moralitas hakim tercantum dalam sejumlah peraturan. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 4 ayat (2), menggarisbawahi bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan dari segala bentuk campur tangan”. Dalam undang-undang ini, integritas hakim sangat ditekankan, di mana mereka diwajibkan untuk bersikap jujur, adil, dan berpegang pada nilai-nilai keadilan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), korupsi yang dilakukan oleh hakim dapat diancam dengan hukuman penjara hingga seumur hidup dan denda hingga miliaran rupiah. Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pasal 5 ayat (1) memberikan wewenang kepada KPK untuk menindaklanjuti dan menghukum pejabat publik, termasuk hakim, yang terbukti melakukan korupsi.
Perluasan Sanksi untuk Menimbulkan Efek Jera bagi hakim
Saat ini, regulasi memang menyediakan dasar untuk menghukum hakim yang korup, tetapi sanksi yang ada masih dianggap kurang menimbulkan efek jera. Pemerintah harus memperberat sanksi, misalnya dengan menambahkan:
1. Pencabutan Hak Profesi Permanen: Hakim yang terbukti bersalah sebaiknya dilarang selamanya untuk terjun dalam profesi hukum, bukan hanya sebagai hakim, tetapi juga profesi-profesi yang berhubungan dengan hukum.
2. Penyitaan dan Pembekuan Aset: Aset yang diperoleh dari hasil kejahatan harus disita, dan aset milik pelaku lain yang terbukti terlibat juga harus dibekukan.
3. Pemberlakuan Hukuman Tambahan Seperti Pengasingan Sosial: Hal ini penting agar pelaku dipandang masyarakat sebagai bentuk pencabutan hak sosial untuk memulihkan kepercayaan publik.
Kasus seperti ini seharusnya menjadi pembelajaran mendalam bagi Indonesia. Penegakan keadilan harus dipulihkan dengan mengembalikan kehormatan dan integritas profesi hakim melalui aturan yang tegas, sanksi berat, dan pengawasan yang tidak memihak. Tanpa perubahan mendasar, masyarakat akan terus menyaksikan lembaga keadilan yang seharusnya dihormati berubah menjadi arena komersialisasi hukum.
Masyarakat Indonesia sangat merindukan sebuah keadilan yang memihak kepada kebenaran bukan kepada uang trilyunan dan kilauan emas. Civil Sociaty serta rakyat kecil berharap dan menunggu gebrakan pemerintahan prabowo untuk merevelusi terhadap praktek keadilan dan penegak hukum yang sudah melenceng di negeri ini serta mereka sudah berikan amanah besar terhadap penguasa hari ini. Selamat bekerja kabinet Merah Putih.