JDNews.co.id – Dalam laporan terbaru yang dirilis lembaga internasional Digital Wellbeing Research Network, Indonesia masuk dalam lima besar negara dengan tingkat kecanduan digital tertinggi di dunia. Laporan ini menyoroti bagaimana penggunaan gawai, media sosial, dan gim daring telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, tak hanya di kota besar, tapi juga merambah ke pelosok desa. Fenomena ini tak bisa lagi dianggap sekadar tren, karena sudah mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan dari sisi kesehatan mental dan sosial.
Data menunjukkan bahwa rata-rata warga Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam per hari menatap layar, baik untuk bekerja, belajar, maupun hiburan. Angka ini jauh di atas ambang batas sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang merekomendasikan tak lebih dari 4 jam konsumsi digital non-kerja per hari. Ironisnya, sebagian besar waktu itu dihabiskan untuk berselancar di media sosial, seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, bukan untuk aktivitas produktif. Hal ini terutama dialami oleh kelompok usia 15–35 tahun yang disebut sebagai generasi paling rawan terdampak.
Dampak sosialnya mulai terasa nyata. Banyak keluarga kehilangan waktu berkualitas karena masing-masing anggota asyik dengan perangkat digital. Anak-anak kehilangan kemampuan bersosialisasi secara langsung. Sementara itu, di lingkungan kerja dan sekolah, perhatian yang terpecah akibat notifikasi tak henti-henti mengurangi produktivitas dan konsentrasi. Bahkan, muncul fenomena “detoks digital”, di mana orang merasa perlu menjauh dari gawai karena mengalami stres atau kecemasan akibat terlalu lama terhubung secara daring.
Kecanduan digital juga memperparah kesenjangan sosial. Mereka yang tidak memiliki akses internet cepat atau gawai canggih makin tertinggal, baik dalam pendidikan maupun ekonomi. Di sisi lain, sebagian masyarakat yang terlalu tergantung pada dunia maya, mulai kehilangan kemampuan dasar untuk berinteraksi di dunia nyata, seperti berdiskusi, bekerja sama, bahkan membangun empati.
Meski begitu, laporan tersebut juga memuat sejumlah solusi yang mulai diterapkan di berbagai negara termasuk Indonesia. Beberapa sekolah kini mengadopsi program “zona bebas gawai” selama jam pelajaran. Pemerintah daerah di beberapa kota seperti Yogyakarta dan Bandung juga mulai mengkampanyekan “jam tanpa layar” di malam hari, khususnya bagi keluarga. Bahkan beberapa perusahaan teknologi lokal kini mulai menambahkan fitur pembatasan waktu pakai untuk aplikasi mereka.
Solusi jangka panjang tetap memerlukan peran aktif semua pihak: orang tua, pendidik, pembuat kebijakan, dan perusahaan teknologi. Edukasi tentang literasi digital yang sehat perlu dimasukkan sejak dini ke dalam kurikulum. Di tingkat masyarakat, membangun kembali budaya tatap muka seperti diskusi RT, kegiatan seni lokal, atau olahraga bersama dapat menjadi penyeimbang dari dunia digital. Teknologi seharusnya menjadi alat bantu hidup, bukan justru yang mengendalikan kehidupan kita.